SEBUAH CATATAN PERJALANAN: FLORES #2



Saya terbangun pukul 5 pagi ketika mendengar suara mesin kapal yang baru dinyalakan. Tak lama, terasa kapal mulai berlayar lagi menuju destinasi selanjutnya. Saya mengintip dari balik tirai kamar, tapi yang terlihat di luar hanya handuk-handuk dan baju yang sedang dijemur. Di luar sana masih gelap gulita, nggak terlihat apa pun.

Mencoba untuk tidur lagi, tapi nggak bisa. Akhirnya saya memilih untuk keluar dari kamar dan duduk di luar sambil menikmati perubahan warna langit dari gelap menjadi kebiruan.



Kapal saya bermalam di dekat Pulau Kambing karena arus di sekitar pulau ini sangat tenang dan nyaman untuk para penumpang kapal. Waktu yang ditempuh dari Pulau Kambing ke Pulau Padar sekitar dua jam. Sepanjang perjalanan saya berdoa supaya cuaca lebih bersahabat dibanding kemarin.

Sambil menikmati pagi yang kebiruan, saya mengisi dan menulis jurnal perjalanan selama di Flores. Saya mengucapkan selamat pagi pada Pak Rizal, nahkoda kapal yang menemani perjalanan saya selama tiga hari di Flores. Pak Rizal membalas dengan senyuman dan ia mengangguk ramah, tapi saya tau kalau ia sedang konsentrasi dengan kemudinya.



Tak beberapa lama setelah saya menulis jurnal perjalanan, bukit-bukit hijau mulai terlihat lagi di sekeliling saya. Salah satu awak kapal duduk di ujung kapal sambil menghisap sebatang rokok, terlihat menikmati pemandangan yang ada di depannya. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa para awak kapal juga selalu menikmati keindahan alam Flores walaupun mereka melihatnya setiap hari?

Sambil menikmati udara pagi yang segar, saya memegang rambut saya yang setengah basah dan menyeruput teh panas.

The voice of the sea speaks to the soul.
~ Kate Chopin

Tak ada yang beban dalam hati dan pikiran saya saat menikmati begitu indahnya pemandangan yang ada di depan mata. Semuanya sangat indah dan mempesona, bahkan saya bilang berkali-kali pada diri sendiri, bahwa keindahan alam yang saya lihat jauh lebih bagus ketika dinikmati dengan mata kepala dibanding ketika terekam lensa kamera.



Pukul 6 pagi, saya dan rombongan sudah sampai di Pulau Padar. Berbeda dengan pulau-pulau yang saya lihat sebelumnya, Pulau Padar memiliki dermaga dan tangga untuk jalur trekking. Kata Bang Erwind, dermaga ini juga umurnya belum resmi satu bulan. Tapi memang masih dalam tahap pembangunan, belum jadi 100%.

Jalur untuk trekking juga sudah diganti dengan tangga yang terbuat dari batu, memudahkan saya untuk mencapai puncak lebih cepat dan lebih mantap dibanding ketika trekking di Pulau Kelor.



Sepanjang trekking, pemandangan Pulau Padar terlihat luar biasa dari berbagai sisi. Sayangnya jalur trekking pun belum jadi 100%, ketika hendak ke puncak bukit, jalurnya masih jalur tradisional alias tanah!

Saya takut banget, suami dan Bang Erwind menjaga dan menyemangati saya di belakang. Kalau saya menengok ke arah puncak, kelihatannya curam dan terjal sekali.

Jujur aja, saya hampir menyerah. Kepikiran mau turun dan kembali ke kapal.




Sampai di atas, lagi-lagi perjuangan saya terbayar oleh keindahan alam. Sulit sekali mengungkapkannya dalam bentuk aksara, jika sudah pernah ke Pulau Padar pasti mengerti dengan perasaan saya.

Satu hal yang saya ingat, ketika sudah di puncak, kita harus bergantian dengan pengunjung lain karena banyak yang berminat untuk foto. Karena jalurnya curam dan tempatnya kurang luas untuk mengantri atau duduk-duduk, jadi benar-benar harus gerak cepat disini.




Setelah puas bengong-bengong dan menikmati keindahan Pulau Padar, saya dan rombongan turun menuju kapal kami. Setelah menyantap sarapan yang disediakan dengan lahap, kapal langsung menuju ke Pink Beach. Nah, perjalanan dari Pulau Padar ke Pink Beach lumayan menantang karena harus melawan arus kencang dari Samudera Hindia.

Saya doa-doa dan diam aja sih selama perjalanan, soalnya beneran takut! Pulau-pulau yang saya lihat dalam perjalanan juga bervariasi, mengingatkan saya dengan film-film Jurassic Park gitu.



Selama di Pink Beach kami santai-santai sambil berjemur, snorkeling, ngobrol-ngobrol sambil mengagumi pasir berwarna pink yang super gemesin! Saya senang banget deh akhirnya kesampaian melihat pink beach, selama ini cuma lihat dan dengar cerita dari teman-teman aja :))

Sayangnya di sekitar pantai banyak sampah-sampah yang terbawa arus, dan karena nggak ada petugas yang berjaga di pulau ini, lumayan keliatan dan agak kotor. Jadi next time teman-teman mau kesini, kalau punya banyak waktu bisa ngumpulin sampah sambil liburan ya, toh kalau laut dan pantai bersih, kita bisa menyelamatkan makhluk hidup lainnya seperti ikan dan burung (mereka kadang suka nggak sengaja makan sampah plastik).




Di Pink Beach saya nggak sengaja menemukan air tawar yang jatuh dari bukit. Saya iseng coba untuk berkumur, wah senang banget begitu nyobain airnya segar dan dingin. Mungkin karena lagi musim hujan, jadi ada mata air dari bukit.

Karena air tersebut menetes terus, akhirnya saya dan teman-teman lainnya bilas badan disini sehabis main di laut. Ini juga pengalaman yang menyenangkan hahaha! Kapan lagi bisa mandi di alam terbuka.



Ketika sudah selesai dan puas mengeksplor di Pink Beach, lagi-lagi makan siang sudah menanti di kapal. Memang nih si abang koki jagoan banget masaknya! Kami disuguhkan ikan, gado-gado, tempe oseng dan spagetti bolognese.

Jadi ada perpaduan antara masakan Indonesia dan juga masakan barat ya hehehe. Pencuci mulutnya kadang semangka, kadang nanas yang manis dan fresh!



Serunya selama bermalam di kapal, makanan yang disajikan belum ada yang fail! Setiap sore kami juga disuguhkan cemilan seperti pisang goreng atau pisang kukus, nyam nyam!

Bang Erwind juga membuatkan kami sambal lombok yang segar dan pedes bikin nagih.

Sambal segar buatan Bang Erwind.
Bang Erwind, guide kami yang sangat murah senyum, suka bercanda dan jago bikin sambal.

Menjelang sore, kapal berlayar menuju Manta Point dimana kita bisa berenang dan melihat ikan manta. Mendekati Manta Point, kapal kami berjalan perlahan-lahan sambil mencari manta rays dengan mata telanjang.

Eh benar saja, Bang Erwind, tiba-tiba heboh dan memanggil para peserta tur untuk menyaksikan fenomena ini.

Tadinya saya lagi ngantuk-ngantuknya, mendadak jadi segar karena ingin melihat manta rays dari atas kapal. Salah satu manta rays mengikuti kapal kami jadi kami bisa menikmatinya dari atas kapal, dekat banget dan terlihat kawanan manta rays sedang muncul ke permukaan.



Mereka berenang dengan sangat anggun, sesekali memperlihatkan siripkan ke permukaan. Karena air laut yang sangat jernih, dari atas kapal terlihat jelas sekali ukuran dan juga bentuk ikan pari manta (manta rays) yang selama ini hanya saya lihat di media sosial. Sayangnya saya nggak sempat mengabadikan dengan kamera saya, tapi nanti teman-teman bisa nonton di vlog-nya Abenk.

Bang Erwind juga cerita kalau manta rays dilindungi oleh Undang Undang dari Menteri Kelautan dan Perikanan, sehingga kita nggak boleh sembarang memegang atau bahkan menyakiti manta rays. Saya sempat tanya ke Bang Erwind, kenapa kok ia heboh banget padahal setiap minggu kan pasti ke Manta Point untuk mengantar turis.

“Wah ini kita lagi beruntung sekali, mbak Andra. Jarang-jarang kita bisa lihat pari manta tanpa harus mencari.”

WAH jadi kami benar-benar beruntung! Sore itu rasanya bersyukur banget karena bisa menyaksikan wildlife yang begitu anggun, makin bangga dengan kekayaan alam Indonesia.



Tak jauh dari Manta Point, kami sampai di dekat Pulau Pasir Taka Makassar.

Dinamakan Pulau Pasir karena pulanya hanya berupa gundukan pasir saja. Kalau dilihat dari aerial view, betul-betul pasir saja yang berbentuk pulau. Karena Pulau Pasir cukup ramai dan sore itu mulai hujan lagi, saya memilih satu pulau kecil tak berpenghuni untuk kami datangi.



Kami diantar dengan speedboat oleh salah satu awak kapal, Yusuf, menuju pulau kecil tak berpenghuni. Setelah saya googling ternyata pulau ini termasuk dalam Taka Makassar. Kita bisa mengelilingi pulau kecil ini hanya dalam 5-10 menit, tapi bagian belakang pulau tertutup dengan tanaman bakau.

Disana saya mengumpulkan karang merah yang menjadi asal muasal pasir berwarna pink hanya untuk kebutuhan dokumentasi.



Tak lama hujan semakin deras, kami bertujuh basah kuyup diguyur hujan.

Pak Rizal harus mengendalikan kapal dengan jarak pandang seadanya, rupanya hujan semakin ganas dan disertai angin kencang. Air muka awak kapal terlihat biasa saja, memberi tanda bahwa saya tak perlu khawatir karena mereka sudah biasa menghadapi cuaca seperti ini.



Kurang lebih setelah dua jam perjalanan dengan cuaca yang ekstrim, kapal kami berlabuh di Gili Lawa bersama kapal-kapal lainnya. Kapal kami langsung bergandengan dengan kapal lainnya, kata para awak hal ini justru lebih aman karena kapal akan tetap terjaga stabil.

Hujan tak kunjung reda, tak ada kepastian kapan kami bisa turun ke Gili Lawa untuk menikmati pemandangan. Jika tak hujan, sunset di Gili Lawa menjadi salah satu daya tarik tersendiri di Flores. Pukul 5 sore, hujan tak kunjung reda sehingga kami memutuskan untuk beristirahat saja di kapal.



Berkunjung ke Flores saat musim hujan bukan suatu kesalahan, tapi justru kebahagiaan bagi saya begitu mendengar suami saya berkali-kali berkata bahwa sangat menyenangkan ketika ia bisa hujan-hujanan di tengah laut.

Walaupun banyak orang bilang Flores lebih bisa dinikmati saat musim kemarau, langit mendung dan musim hujan menggoreskan makna yang berbeda di hati saya.

Blessed.

Related Posts:
Exploring Flores in Rainy Season + What to Pack
Sebuah Catatan Perjalanan: Flores #1


 photo 2016_new-sign_zpsmxppxjue.jpg

16 comments :

  1. Pengalaman ke Labuan Bajo memang berkesan banget ya Mbak Andra...selalu ingin balik lagi. .dan ternyata memang kru kapal jago-jago banget masaknya..ga pernah ga enak!

    ReplyDelete
  2. Seru banget kak Alo! Aku jadi makin pengen ke Flores abis baca cerita perjalananmu :')

    ReplyDelete
  3. Ka Andra, beli swimwearnya dimana ya?

    Thanks n Regards,
    Dhita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Dhita, itu atasnya aku pakai sportbra dari H&M, tankininya dari Uniqlo UUUU :)

      Delete
  4. blessed.

    penutupnya manis banget ka andra :)
    Indonesia sebagus itu, semangat nabung biar kesampaian tahun ini.

    Doakan ya ka ///// :)

    ReplyDelete
  5. "Di sini ga ada stand up comedy, adanya stand up komodo." -Abenk Alter, 2018, Flores

    Baca dari atas udah terharu banget jadi pengen komen yang terharu juga. Eh, kebaca tulisan di notes-nya Ka Abenk ini hahaha.

    ReplyDelete
  6. Thanks for sharing, Malo! Makanya excited banget pas tau Malo & AA traveling ke Flores. Pasti bawa oleh-oleh cerita seru di blog.

    ReplyDelete
  7. mba Alo, hati makin kepengen ke Flores liat postingan mba Alo :(

    ReplyDelete
  8. Ndra, you have to know, seneng banget deh liat gaya bahasamu kalo nulis di blog. Sederhana tapi pas banget, ga berlebihan. Dan cerita Flores ini menyenangkaaaan sekali dibacanya :D

    ReplyDelete
  9. Abis liat ini, jadi inget liburan ke alam sama temen-temen ke belitong !
    keindahan indonesia memang super, bahkan sampai di sana kita bisa lebih mencintai alam dan betapa bangga nya sebagai orang indonesia. kadang saya berfikir, kok orang yang tinggal di alam bisa lebih happy, dibanding saya yang di kota dan banyak kemudahan fasilitas. nyatanya, kebahagiaa itu dengan lebih mencintai bersyukur dengan apa yang saat ini kita punya. Keep on positive


    alsheilaaa.blogspot.co.id

    ReplyDelete
  10. Aku setuju banget! Be it sunshine or rain, or even typhoon! HAHAHA ... when it comes to traveling pe-er kita cuma menikmatinya aja! Yesh! dan baca tulisan perjalanan flores kamu itu bener - bener menggugah jiwa! I feel the words become alive!!! Thanks for sharing, Ndra!! Keep on exploring, writing, sharing, and inspiring! Go mama Wawa!!! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emberrr.. Nikmatin aja karena kalau nggak, rugi karena kebanyakan complain ;p hahaha

      Thanks Gill!!! :D

      Delete
  11. as usual, kalo baca tulisan malo, kay alagi diajak jalan-jalan kesana, aahhhhh so happy! :D

    ReplyDelete
  12. Seru banget, berkelana gini terakhir tahun 2012, aaakk jadi termotivasi untuk segera diulang..

    ReplyDelete
  13. mau tau dong kamera yg dipake ka andra di flores

    ReplyDelete