Hello, melalui artikel ini saya ingin sekali berbagi cerita dengan teman-teman yang juga sedang berjuang untuk mendapatkan buah hati. Artikel ini saya tulis pada 4 Juli 2014, saya revisi dan
update pada tanggal 18 Maret 2015 agar bahasanya lebih mudah dan ringan untuk dibaca. Saya senang sekali bisa berbagi cerita ini dengan banyak orang dan juga bisa menginspirasi banyak orang untuk mengikuti program bayi tabung (In-Vitro Fertilization) di
Loh Guan Lye Specialist Centre dengan
Dr. Devindran Muniandy. Terima kasih atas dukungannya selama ini, selamat membaca!
***
Ngga terasa, saya sudah melewati minggu kelima pasca operasi besar. Banyak sekali yang bertanya soal operasi apa yang saya jalani,
but I never told the full story karena panjang sekali untuk menjelaskannya, dan terkadang banyak orang yang bertanya cuma sekedar basa-basi saja. Setelah saya cerita, mereka-mereka ini juga belum tentu mengerti cerita saya, tapi ternyata ada saja teman-teman yang bercerita dengan saya tentang perjuangannya untuk memiliki buah hati.
Sejak beberapa orang berani membuka diri dengan saya lewat kisah dan perjuangan mereka, saya merasa lebih lega dan bersyukur – saya tidak merasa sendirian lagi seperti dulu.
Berkat dukungan yang luar biasa dari suami saya, keluarga, sahabat-sahabat terdekat. Akhirnya saya berani untuk menulis panjang lebar tentang perjuangan saya untuk mendapatkan malaikat kecil. Terima kasih juga untuk kakak ipar saya,
Kania, yang sangat mendukung saya untuk menulis dan berbagi cerita ini di blog saya agar banyak orang yang bisa membaca dan tidak merasa sendirian lagi. Tulisan ini adalah tulisan keenam saya yang akhirnya berhasil saya tulis hingga selesai, karena sebelumnya saya selalu ragu-ragu untuk menulis tentang cerita ini dan mempublikasikannya lewat blog.
Semua masalah yang saya alami berawal dari operasi usus buntu di RS Pondok Indah pada tahun 2008 saat saya masih kuliah. Awalnya saya merasa sakit perut seharian, lalu esokan harinya membaik. Lusanya saya pergi dengan teman-teman ke Pondok Indah Mall, menjelang malam perut saya sakit sekali sampai saya menangis terus karena sesakitan dan benar-benar tidak kuat untuk bicara.
Malam itu juga saya harus operasi usus buntu di RS Pondok Indah. Operasi berjalan lancar, besoknya ketika saya sadar, dokter menjelaskan bahwa terjadi perlengketan usus yang menempel ke tuba falopi. Dokter menyarankan saya untuk menemui dokter kandungan, tapi karena merasa tidak puas, saya jadi malas konsultasi dengan obgyn yang praktek di RSPI. Salah satu obgyn di RSPI berkata bahwa hal ini jika dibiarkan saya bisa tidak punya anak – dari cara menjelaskannya saja saya tidak suka, seakan-akan masalah saya enteng untuk
obgyn tersebut.
Setelah saya pulih, ibu saya selalu menemani saya mencari-cari dokter yang cocok untuk terapi agar tidak terjadi perlengketan lagi. Selama mencari-cari
obgyn yang cocok di Jakarta, hampir selalu saya bertemu dengan
obgyn yang ngomongnya suka ‘ngasal’ dan menakuti-nakuti.
“Kamu nanti gak bisa punya anak loh!” “Operasi lagi aja, nanti gak bisa hamil” dan sebagainya.
Efek dari situ, saya jadi punya mental yang jelek sekali yaitu saya tau kalau saya susah hamil. Tapi karena saat itu saya belum ada rencana untuk menikah apalagi punya momongan, saya ngga terlalu ambil pusing.
Saya juga sempat konsultasi dan akhirnya menjalani terapi di
Klinik Sam Marie dengan
Dr.dr. T.Z Jacoeb. SpOg-KFER. Setelah melewati terapi, Dr. Jacoeb berkata bahwa kondisi saya sudah membaik dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam waktu dekat. Setelah terapi di Klinik Sam Marie, saya tidak pernah periksa-periksa lagi ke obgyn karena saya pikir saya sehat-sehat saja.
Saya dan
Abenk menikah pada bulan Juni 2012. Kami memang tidak pernah menunda-nunda untuk punya anak. Setelah hampir setahun menikah, ibu saya menyarankan untuk cek lagi ke dokter karena belum juga hamil. Ibu saya khawatir karena ada perlengketan usus di dalam perut saya, dan takutnya memang hal tersebut yang jadi sumber masalah kenapa aku belum juga hamil. Atas saran ibu saya yang rajin browsing-browsing, kami konsultasi ke seorang dokter senior dan ternama di
RS YPK Mandiri – yang konon sih, terkenal banget dan banyak sekali yang berhasil hamil setelah mengikuti program dari beliau.
Melalui beberapa konsultasi dan pemeriksaan, saya baru tau kalau perlengketan usus yang saya alami membuat salah satu tuba falopi saya terinfeksi dan mampet. Istilah kedokterannya adalah
hydrosalpinx. Lalu dokter menyarankan untuk mengangkat satu tuba falopi yang terinfeksi melalui operasi
laparoscopy. Awalnya, berat sekali untuk menerima saran dokter dan mempersiapkan diri untuk operasi – saya memang takut sekali dengan kata-kata “operasi.” Akhirnya saya pikir-pikir dulu sebelum operasi selama 1-2 bulan, karena saya takut sekali harus kehilangan salah satu tuba falopi. Tapi akhirnya saya bertekad untuk operasi karena merasa sreg dan cukup yakin dengan saran yang dokter berikan, lalu saya menjalankan
laparoscopy di RS YPK Mandiri.
Saat itu, saya bersiap-siap sekitar jam 4 pagi untuk operasi
laparoscopy. Saat di ruangan tunggu, yang saya heran, dokter saya malah gak menengok saya terlebih dahulu. Justru Dr. Ceppi (asisten dokter senior yang akan mengoperasi saya) yang menengok saya dan menjelaskan tentang prosedur yang saya jalani. Sebelum dibius di ruang operasi, dokter saya juga gak banyak basa-basi. Saat di operasi, tuba falopi kiri juga dites oleh dokter apakah berfungsi dengan baik atau tidak, dengan cara disemprotkan cairan berwarna biru. Tentunya tuba falopi yang mampet tidak bisa dilewati oleh sperma, tapi ternyata tuba kiri saya kondisinya masih normal. Operasi berjalan cepat dan lancar, begitu juga dengan proses pemulihannya.
Setelah operasi, dokter memberikan foto-foto hasil operasi
laparoscopy yang ditempel di buku medis pasien, berikut dengan catatan-catatan yang selalu saya bawa saat konsultasi. Memang terlihat banyak sekali perlengketan di daerah tuba falopiku, perlengketannya terlihat seperti ingus kental dan bagian yang terinfeksi terlihat seperti luka yang sudah borokan.
Kondisi saya setelah operasi juga baik-baik saja, beberapa hari kemudian saya menstruasi dan semua berjalan normal.
Tapi ternyata, masalah baru datang sebulan kemudian.
Setiap hari kedua menstruasi, saya mengalami kesakitan yang luar biasa di area perut sebelah kanan, tepat dimana tuba falopi saya sudah diangkat. Saya benar-benar gak tahan dengan sakitnya sampai ngga bisa jalan kaki. Akhirnya saya dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) di YPK Mandiri agar bisa bertanya dengan dokter apa penyebabnya.
Seminggu kemudian, kami konsultasi lagi dengan sang dokter senior – kali ini kami dapat nomor antrian awal karena seminggu sebelumnya saya masuk UGD dan staff UGD membantu kami mendapatkan nomor awal untuk konsultasi. Kami bertanya-tanya, tapi dokter tidak menjelaskan secara medis. Malah ujung-ujungnya beliau selalu menyudahkan konsultasi secara cepat-cepat dan pertanyaan kami tidak ada yang dijawab.
Parahnya, dokter malah menyuruh kami untuk datang konsultasi lagi kalau saya sedang kesakitan – padahal setiap antri konsultasi, antriannya bisa 2-3 jam dan menurut saya hal tersebut gak masuk akal.
Kalau saya sudah kesakitan, lalu beliau masih tetap menyuruh saya menunggu? Kalau saya tiba-tiba pingsan di jalan karena kesakitan saat kerja atau pergi-pergi, bagaimana? Karena merasa lelah dengan antrian yang panjang, sikap dan servis yang tidak memuaskan, saya jadi capek dan kecewa secara fisik dan juga mental. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak akan konsultasi ke dokter senior tersebut lagi dan berbesar hati untuk menjalani hari-hari menstruasi saya dengan cara berbaring di kasur dan kesakitan. Di saat yang bersamaan, saya dan suami terus berusaha agar saya hamil, tapi ternyata saya belum hamil juga selama 8 bulan setelah operasi
laparoscopy.
 |
Kondisi tuba falopi saya yang terinfeksi dan terkena perlengketan usus selama 6 tahun terakhir. |
Ada hari-hari dimana saya melewatinya dengan penuh tangisan, rasa kecewa dan marah. Saya ngga pernah marah dengan Tuhan, tapi marah dengan keadaan dan diri sendiri. Saya juga marah sekali dengan
obgyn yang sudah mengoperasi saya dan tidak bertanggung jawab dengan pertanyatan-pertanyaan saya.
Sering sekali saya berpikir kalau memang saya tidak bisa hamil dan tidak bisa punya anak, apa saya dan suami harus adopsi saja? Saya juga sempat berpikir untuk mendatangi obgyn tersebut ke RS YPK Mandiri, saya ingin marah-marah dengan beliau karena jujur saja, saya menderita sekali setiap menstruasi datang. Saya kesal sekali. Tapi yah, buat apa saya marah-marah? Mengeluh dan marah juga tidak membuat keadaan saya membaik atau lebih lega, justru malah menambah “penyakit” saja.
Sering kali saya merasa
jealous dan sensitif dengan teman yang baru mengumumkan bahwa dirinya hamil. Bukannya saya ikut senang, saya malah sedih kenapa orang lain mudah sekali untuk hamil? Sedangkan saya harus merasa sakit-sakitan setiap bulan tapi saya kok belum hamil juga. Apalagi di lingkungan saya, banyak sekali teman-teman yang sengaja menunda untuk punya momongan. Eh, sekalinya “tidak menunda” malah langsung hamil. Ada juga cerita-cerita tentang hamil karena “tidak sengaja”, tapi ketika saya tanya, jawabannya malah,
“Sebenarnya gue ngga pengen hamil dulu, Ndra.” Pada awalnya hal ini terasa tidak adil, kenapa orang-orang bisa berbicara seperti itu? Padahal orang-orang seperti saya ingin sekali memiliki momongan, dan mereka tidak mengerti dengan kondisi orang-orang seperti saya. Tapi saya perlahan-lahan mencoba untuk tidak berpikir negatif seperti itu lagi, saya mencoba untuk mengerti keadaan orang lain – mungkin karena mereka mudah sekali untuk hamil, jadi mereka lupa untuk bersyukur. Padahal anak tidak pernah minta dikandung atau dilahirkan. Anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga.
Tapi tidak jarang juga loh, ada suara-suara dan kata-kata yang bikin aku merasa
down. Apalagi saat bertemu dengan kerabat orang tua, teman yang tidak terlalu kenal-kenal banget atau pun keluarga besar.
“Kamu sibuk banget sih.”
“Ngga usah terlalu mentingin karier. Uang kan bisa dicari.”
“Kamu KB ya? Ngapain sih KB? Jangan nunda-nunda dong.”
Saat-saat seperti itu saya jadi sensitif sekali dan tersinggung dengan beberapa orang yang tidak asal ngomong.
***
MARCH 2014
Bulan Maret 2014, saya dipaksa oleh kedua orang tua saya untuk menjalankan
general check up di Penang, Malaysia, dan mencari
second opinion tentang kasus yang selama ini aku alami. Akhirnya saya menyerah, dengan embel-embel
“harga check up di Penang yang terjangkau” akhirnya saya berangkat dengan kedua orang tua saya. Saat itu suami saya ngga bisa menemani karena ada pekerjaan.
Kenapa ke Penang?
Karena ibu saya kemoterapi di Penang, dan kedua orang tua saya puas banget dengan servis RS-RS di Penang.
Tanpa berbekal informasi apa pun, secara random saya ditemani ayah saya, datang ke
Loh Guan Lye Specialist Center dan bertanya dengan resepsionis soal
obgyn yang bagus di Loh Guan Lye. Akhirnya saya langsung ambil nomor dan diminta untuk datang lagi sekitar pukul 14.00 untuk konsultasi di hari yang sama. Saya
amazed, begitu pertama datang saja sudah langsung dapat nomor antrian.
Kalau di Jakarta? Duh, jangan harap langsung dapat di hari yang sama.
Saat bertemu
Dr. Devindran, saya membawa catatan medis dari RS YPK Mandiri beserta foto-foto hasil
laparoscopy saya. Saat melihat rekam medis saya dari RS YPK, raut wajah Dr. Devindran langsung ngga enak. Beliau juga tanya, apakah sebenarnya saya mengetahui betul apa yang saya alami selama ini. Saya menggeleng. Sewaktu Dr. Devindran menjelaskan panjang lebar tentang kasus yang sebenarnya saya alami, saya lemas,
shock dan kaget. Sebenarnya dua tuba falopi saya kondisinya sudah parah sekali, tapi dokter di RS YPK Mandiri tidak membahas soal hal ini. Malah dokter bilang bahwa saya bisa-bisa saja untuk hamil, kenyataannya saya harus menderita setelah operasi
laparoscopy. Lalu soal alat-alat yang dipakai untuk operasi, memang harganya mahal sekali tapi alat-alat tersebut bukan berarti alat yang terbaik. Selain itu, ada satu obat yang ditaruh di tuba falopi saya saat
laparoscopy – ternyata obat itu tidak diperlukan. Bentuknya seperti perban yang dipasang untuk melindungi tuba falopi yang terinfeksi, tapi ternyata saya dan suami membayar obat tersebut senilai Rp 8.000.000,-
for nothing! Gila kan?
Dr. Devindran menjelaskan bahwa infeksi dan perlengketan pada tuba kanan saya juga mempengaruhi tuba kiri, beliau menyarankan saya untuk
laparoscopy lagi untuk mengangkat tuba kiri. Ayah saya tanya,
“Jadi Andra punya kesempatan untuk hamil natural, dok?” Dokter menjawab bahwa saya hanya memiliki kesempatan 5% untuk hamil secara alami.
Lima persen.
Kebayang ngga, hanya lima persen?
Kemungkinan yang sangat kecil sekali, dan saya
shock. Saya berusaha menahan tangis, berusaha untuk tenang. Ayah saya terlihat tegang tapi tetap berusaha untuk tenang. Dr. Devindran juga menyarankan saya untuk mengikuti program bayi tabung atau
In-Vitro Fertilization (IVF). Saran ini tidak saya terima begitu saja karena saya kecewa dengan kondisi saya yang tidak bisa hamil secara natural. Saya juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa dokter senior dari RS YPK Mandiri tidak bicara jujur sepenuhnya tentang kondisi tuba falopi saya yang ternyata, sudah parah sekali. Dr. Devindran juga menyarankan agar saya tidak menunda-nunda untuk
laparoscopy lagi, sebelum semuanya terlambat dan infeksinya semakin parah.
Karena saya tidak ditemani oleh Abenk saat konsultasi, dokter meminta untuk bertemu dengan Abenk saat beliau datang ke Jakarta. Saya masih ingat betul perkataan beliau,
“Saya mau bertemu suami kamu, kebetulan saya akan ke Jakarta weekend ini. Biar saya yang menjelaskan semuanya tentang kondisi kamu, agar suami kamu bisa mengerti.”
Sepulang dari
Loh Guan Lye Specialist Centre, saya merenungkan kondisi saya terus menerus. Orang tua saya menyarankan untuk tetap mencari second opinion dengan dokter yang berbeda. Esok harinya, saya datang ke
Lam Wah Ee Hospital untuk konsultasi dengan Dr. Ng Peng Wah – tapi karena belum jodoh, Dr. Ng hari itu sedang tidak praktek. Saya akhirnya konsultasi dengan
obgyn lainnya, saya lupa namanya, tapi dokter yang saya temui mengatakan hal yang sama dengan Dr. Devindran. Intinya saya harus merelakan satu-satunya tuba falopi yang sekarang saya punya, karena kalau dibiarkan saja malah jadi penyakit.
Saya akhirnya
googling terus tentang Dr. Devindran karena saya takut mengalami hal yang sama dengan dokter-dokter di Jakarta. Beberapa blog dan forum yang membahas IVF dengan Dr. Devindran juga hasilnya berbeda-beda, ada yang berhasil tapi ada juga yang gagal sampai berkali-kali. Lalu saya tidak sengaja menemukan blognya
Putri Kansil tentang pengalaman menjalankan IVF dengan Dr. Devindran. Putri sudah menunggu buah hati hingga 7 tahun, dan akhirnya berhasil hamil hanya dalam satu kali
treatment. Membaca tulisan Putri, saya juga yakin saya akan berhasil seperti cerita Putri.
The next couple weeks were difficult for me. Setelah pulang dari Penang, saya mengalami stres yang luar biasa karena saya belum ikhlas menerima kenyataan. Walaupun saya dan suami sudah konsultasi dengan Dr. Devindran sewaktu beliau datang ke Jakarta, saya tetap saja stress kalau memikirkan harus operasi lagi. Abenk sendiri merasa cocok dengan Dr. Devindran, dari cara menjelaskan secara detail dan beliau juga selalu menyemangati kami. Tapi saat itu sulit sekali rasanya untuk tetap tenang dan memiliki mental positif.
Saya sempat mikir, apa memang kami tidak akan punya anak?
Sempat mikir juga, bagaimana jika operasi atau treatment kami gagal? Kalau gagal, kami harus mulai lagi dari mana lagi?
There were several days when I was just crying. I cried on the bed, sometimes I cried in my bathroom. Kadang saya menangis meraung-raung di pelukan suami, kadang curhat dengan sahabat-sahabatku sambil marah-marah. Akhirnya,
I decided to stop working. Cuti sementara dari dunia fotografi dan fokus untuk program hamil. Saya merasa ini saat yang tepat untuk fokus dengan diri sendiri. Setelah yakin dengan pilihan untuk cuti, saya menjalani hidup sehat, mengkonsumsi makanan sehat, memperkaya diri dengan pikiran-pikiran yang positif sambil mempersiapkan mental untuk menjalani operasi dan program bayi tabung.
Berkat kekuatan dan kasih sayang yang Tuhan berikan, saya semakin semangat dan sangat positif untuk menjalani hari-hari kedepan.
Dalam waktu dua bulan, saya menyelesaikan semua pekerjaan yang berhubungan dengan fotografi termasuk meminta izin dengan beberapa pihak untuk cuti sementara. Awalnya saya sedih harus cuti dulu, tapi akhirnya saya malah semangat dan fokus karena tidak sabar untuk cepat-cepat dioperasi dan menjalankan program IVF.
***
JUNE 2014
Sehari sebelum operasi
laparoscopy yang ketiga kalinya dalam hidup saya, saya dan suami konsultasi dan melakukan pemeriksaan dengan Dr. Devindran. Dari hasil USG, terlihat benyak sekali perlengketan-perlengketan dan ada polip di rahim. Dokter mengatakan karena kondisi perlengketan saya yang cukup parah dan sangat sulit untuk membersihkan perlengketan-perlengketan tersebut, dokter akan melakukan “Plan B” yaitu operasi
laparotomy – operasi besar dengan cara membuka bagian perut secara vertikal. Dr. Devindran menjelaskan kalau operasi besar ini jarang sekali terjadi, mungkin terakhir terjadi sudah 5-6 tahun lalu.
Tanpa pikir panjang, saya setuju dengan saran dokter karena saya sudah capek sekali bolak balik operasi karena masalah perlengketan. Sewaktu ibu saya tau soal “Plan B” ini, beliau langsung panik dan lemas. Khawatir, kalau saya malah kenapa-kenapa. Tapi saya berusaha tenang terus karena sudah yakin dengan pilihan saya, walaupun ini operasi yang kedua kalinya dalam jangka waktu kurang dari satu tahun.
Esok harinya, saya dijadwalkan operasi sekitar jam 13.00. Dari pagi saya sudah diminta untuk bersiap-siap, saya memilih menginap di kamar VIP di gedung baru. Selanjutnya, ketika sadar dari pengaruh obat bius, sayup-sayup saya melihat kantong darah di samping kanan atas saya. Saya juga melihat Dr. Devindran sedang berdiskusi dengan suster. Dokter menghampiri saya dan bilang bahwa operasinya sudah selesai dan beliau “membuka” perut saya.
Selanjutnya yang saya diberi tau oleh dokter, suami dan ibu saya bahwa saya kehilangan banyak darah selama operasi berjalan. Saya juga tidak jadi menginap di kamar VIP, malah saya ditempatkan di kamar yang isinya sekitar 5-6 pasien. Setiap 15 menit suster datang mengecek kondisi saya, karena saya demam. Suami juga bercerita Dr. Devindran menempatkan saya di kamar yang beramai-ramai supaya dekat dengan ruang jaga suster, ternyata kondisi saya hampir kritis karena kehilangan banyak darah.
Saya juga dipasangi kateter urine, tapi juga saya melihat ada selang di antara perban besar yang melilit perut saya – yang ternyata selang tersebut berfungsi untuk mengeluarkan sisa-sisa pendarahan dalam perut saya. Awalnya saya diminta
stay selama satu malam saja, tapi dengan kondisi seperti itu saya terpaksa menunda kepulangan saya ke Jakarta dan harus stay di RS selama 5 hari. Saya juga tidak diizinkan pulang ke Jakarta karena kondisi saya lemah sekali, jadi totalnya saya
stay selama 10 hari di Penang.
 |
Hampir kritis beberapa jam setelah operasi Laparotomy (kiri). Masih lemah seminggu setelah operasi (kanan). |
Memang semua tidak seperti ekspektasi awal saya yang seharusnya hanya
laparoscopy saja,
but I was blessed, happy and very positive. Saya yakin perjuangan saya tidak akan sia-sia. Saya gak berhenti bersyukur dengan kondisi saya saat itu. Dan saya merasa lebih lega karena paling tidak, salah satu proses yang harus saya jalani akhirnya terlewati.
Selama lima hari dirawat di rumah sakit dan
bedrest total di hotel, saya menikmati sekali masa-masa dimana saya harus belajar jalan lagi. Saya baru bisa jalan di hari ketiga paska operasi, biasanya kalau operasi C-Section, pasien lainnya sudah bisa jalan di hari kedua. Susah ke toilet, kadang-kadang juga masih demam, ngga bisa mengangkat kaki lebih dari 15 sentimeter, tidur juga hanya bisa nyenyak di posisi tertentu. Karena saya ngga bisa angkat kaki tinggi-tinggi, akhirnya setiap mau memakai atau melepas
underwear juga harus dibantu Abenk atau ibu saya. Abenk juga sabar banget selalu nunggu dan nemenin pagi sampai malam, merelakan waktunya selama 10 hari untuk menemani saya di Penang tanpa bawa laptop dan alat-alat untuk bekerja. Abenk selalu terlihat tenang, makanya saya juga merasa lebih tenang.
Kami menginap di
GLOW Hotel yang letaknya tidak jauh dari Loh Guan Lye. Selama
bedrest di hotel, saya konsultasi dengan Dr. Devindran sebanyak 3-4 kali untuk memantai kondisi saya setelah
laparotomy. Beliau perhatian sekali dengan kondisi kami berdua. Kami selalu disemangati dan diberi nasihat-nasihat bijak yang akhirnya selalu kami ingat. Bahkan Dr. Devindran juga sempat meminta maaf pada Abenk dan keluarga saya karena ‘terpaksa’ harus melakukan
laparotomy, yang akhirnya kami jadi harus tinggal lebih lama di Penang.
Dokter menjelaskan bahwa paska operasi
laparotomy yang saya jalani, kondisi saya hampir kritis dan hampir dirawat ke ICU – tapi ternyata badan saya cukup kuat dan mental saya sangat positif untuk sembuh dan berjuang, jadi akhirnya saya bisa dirawat di kamar biasa.
Dr. Devindran juga berusaha untuk biaya tagihan kami agar tidak membengkak. Beliau juga menyarankan Abenk untuk mengurus asuransi agar semua bisa ditanggung asuransi. Saya salut dan puas sekali dengan servis Dr. Devindran.
***
JULY 2014
Minggu ini setelah satu bulan saya operasi
laparotomy, saya datang ke Penang lagi untuk konsultasi dengan Dr. Devindran. Hasil USG menunjukkan bahwa kondisi saya aku bagus, tidak ada perlengketan lagi. Bekas jahitan
laparotomy saya juga mengering dengan baik, hanya saja berbekas dan akhirnya menimbulkan keloid. Indung telur saya juga kondisinya sehat dan saya melihat ada telur-telur di dalamnya. Dr. Devindran menyarankan agar kami memulai program IVF bulan depan, tapi kami menunda sedikit selama 2-3 bulan agar kondisi saya sudah pulih total dan persiapan mental kami juga lebih matang.
Setelah operasi terakhir, banyak sekali hal-hal yang membuat aku lebih semangat, misalnya setiap lagi ke mall saya selalu melihat ibu hamil. Malah kemana-mana rasanya saya selalu melihat ibu hamil. Ada saatnya saya mimpi sedang hamil, bahkan sedang menyusui! Setiap bangun dari tidur, saya senyum-senyum sendiri karena tidak sabar semua mimpi-mimpi saya jadi kenyataan.
Hari ini adalah hari kedua menstruasi saya setelah operasi
laparotomy dan saya tidak merasakan kram perut lagi seperti dulu.
Everything’s okay now.
So, that's the story.. I decided to write and blog about my TTC journey, because I know there are so many out there who desperately want children and for some reason it just hasn't happened yet – YOU ARE NOT ALONE! I have no tubes but that doesn't stop me. I believe God moves in mysterious ways. Never give up, never lose hope.. Always. Thank you to all of you who still support and follow my journey and pray for us!
Read more: My IVF Success Story